Monday, January 27, 2014

My Mother's Hands

Hmm... first of all, aku mau tekankan ini hanya opiniku secara pribadi. Tentu saja semua orang tua punya pendapat masing-masing tentang bagaimana mereka harus mendidik anaknya. Nilai-nilai apa saja yang mereka harus utamakan dan metode apa yang menurut mereka paling baik untuk membentuk kepribadian terbaik yang mereka harapkan dari seorang anak. Dan tidak seorangpun yang aku harapkan akan memaksakan dirinya untuk setuju dengan pendapat orang lain.

Aku menghabiskan 14 tahun pertamaku di desa kecil di pelosok Sumatera Utara. Mayoritas (atau mungkin semua) penduduknya bekerja sebagai petani yang kulit tangan dan kakinya kasar karena terlalu sering terendam air sawah dan meniti jalan setapak tanpa alas kaki.

Kehidupan yang keras. Hasil panen yang didapatkan tidak selalu sebaik yang diharapkan. Terkadang anak-anak bisa mendapatkan baju baru setelah membantu orang tua memanen jagung atau setelah mengangkut karung-karung kecil berisi bulir-bulir padi di atas pundak kecil mereka. Tapi ketika tikus-tikus terlalu serakah untuk menyisakan batang-batang padi bagi kami, anak-anak kecil hanya akan disesah dengan rotan oleh orang tuanya apabila mereka merengek minta dibelikan mainan di pasar. Memberi makan semua perut yang ada di rumah jauh lebih penting dari pada sekedar membeli pistol mainan, hal yang terkadang bagi anak-anak adalah kepelitan luar biasa dari seorang ibu.

Para orang tua di desa kami tidak membaca satu pun buku-buku terjemahan luar negeri yang di judulnya ada embel-embel "Parenting". Mereka tidak menghadiri talk show tentang "Bagaimana Mengoptimalkan Tumbuh Kembang si Kecil". Yang mereka lakukan hanyalah, mendaftarkan anaknya di sekolah, menyuruhnya ke Sekolah Minggu, mengajarkannya cara bersopan-santun sesuai tradisi dan memberi mereka makanan yang cukup, tiga kali sehari. Sering kali empat sehat lima sempurna hanya sekedar ayat hapalan mereka pada saat ujian di sekolah karena prakteknya tidaklah demikian. Para ibu sudah sangat berusaha untuk bangun jam 4 pagi, memasak makanan, mencuci pakaian dan harus bergegas ke sawah berlomba dengan kawanan burung yang siap menyerang bulir-bulir padi bahkan sebelum matahari terbit sempurna. Bagaimana mungkin masih mengharapkan mereka untuk memikirkan menu makanan bergizi yang bervariasi setiap harinya?

Para anak-anak harus bangun pagi sendiri, mandi, berpakaian dan mengikat tali sepatu mereka sendiri. Mereka harus menyendok nasi ke piring sendiri, bahkan ketika badan mereka masih terlalu pendek untuk meraih rice cooker di atas meja. Tapi kemudian itu tidak menjadikan mereka kelaparan, mereka punya akal yang segudang. Ketika mereka tidak menemukan kursi untuk dipanjat, mereka lari ke kamar mandi mengambil ember penampung air, menelungkupkannya di lantai dan meraih si rice cooker. Ketika kemudian ember itu pecah dan mereka terjatuh, mereka hanya akan tetap berangkat ke sekolah sambil memikirkan sebaiknya harus menyerahkan kaki yang mana ketika ibu mereka pulang.

Anak-anak sering mendapatkan sesahan rotan di kaki mereka. Atau mungkin dengan tiga batang lidi yang diulir jadi satu. Itu yang mereka dapatkan ketika pulang dari sekolah dengan kemeja belepotan lumpur di hari Senin, kemeja itu seharusnya masih tetap bersih sampai hari Selasa, bahkan ada anak yang harus memakai kemeja yang sama sampai hari Rabu. Mereka juga akan mendapatkan rotan ketika ketauan bolos sekolah, atau kedapatan bermain "judi" koin yang sering disebut "tuo", atau ketika kedapatan mencuri rambutan milik tetangga.

Apa yang aku hendak katakan adalah.. para orang tua itu memukul anaknya, mereka meneriaki bahkan memaki ketika anaknya melakukan kesalahan, ketika anak-anak mengecewakan orang tuanya yang sudah membanting tulang ke gunung, sawah dan ladang.

Kemudian aku pindah ke kota, dimana kebanyakan anak diasuh sesuai dengan buku-buku "Parenting", majalah "Bapak&Ibu", semua orang familiar dengan adanya Komnas Perlindungan Anak. Semua orang bisa mengadukan orang tua manapun yang kedapatan melakukan kekerasan kepada anaknya.

Ada seorang anak yang dipukul Ibunya, aku melihatnya di berita tv, anak tersebut disembunyikan oleh seorang aktivis. Katanya akan "dilindungi". Dari siapa? Dari IBU KANDUNGNYA sendiri. Seorang "orang asing" memberikan pernyataan kepada media bahwa mereka akan melindungi anak tersebut. Aku sulit memahami bahwa ada tempat yang lebih aman dari pada pelukan seorang ibu.

Aku melihat ibu itu dicemooh di internet, semua pernyataan orang-orang di media menyudutkannya. Namun tidak seorang pun yang bertanya atau menjelaskan atau mencari tau kenapa dia memukul anaknya. Yang semua orang tuduhkan kepadanya adalah dia sudah melanggar undang-undang perlindungan anak.

Kemudian aku melihat si ibu yang katanya memukul anaknya itu, dikerubungi wartawan, aku melihatnya menangis sampai dia tidak mampu memberikan jawaban apa-apa, aku yakin benar hatinya sangat terluka. Bukankah seorang anak adalah darah dan daging orang tuanya? Orang tua yang memukul anaknya adalah seperti memukul dirinya sendiri. Sakit yang dirasakan sang anak, orang tua merasakannya juga.

Mungkin memang ada orang tua yang "sakit jiwanya" sehingga mereka bisa saja memukuli, menyakiti hati anak-anaknya tanpa alasan, tanpa maksud lain, hanya karena mereka merasa lebih baik ketika melihat anak-anaknya terluka. Tapi kan bukan berarti semua orang tua yang memukul anaknya begitu?

Aku tidak akan bertanya mengenai "bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anaknya?" dan aku tidak memerlukan siapapun untuk menjelaskannya padaku.

Aku tahu ada banyak metoda yang orang percayai.. jangan berkata seperti ini di depan anak-anak, jangan pernah pukul anak, lakukan ini ketika mereka melakukan kesalahan, bla bla bla.. dan masih banyak lagi yang kita bisa temukan di buku-buku "parenting".

Aku tidak dalam posisi merekomendasikan sesuatu ataupun tidak merekomendasikan sesuatu kepada orang tua manapun tentang cara mendidik anak mereka, apa lagi saat ini aku masih belum menjadi orang tua. Aku masih percaya bahwa pagar yang terbaik untuk menjagai tumbuh kembang seorang anak adalah kasih sayang dari orang tuanya, entah bagaimanapun bentuk aplikasinya.Karena itu aku juga tidak suka melihat orang-orang menghakimi para orang tua berdasarkan cara mereka membesarkan anak-anaknya. Simpan pendapatmu di dalam hatimu, lakukan yang menurutmu benar dan sesuai dengan hati nuranimu.

Aku hanya ingin menceritakan bagaimana Ibuku membesarkanku. Tanpa majalah dan buku-buku "Parenting", tanpa talkshow apapun. Semua yang dilakukan hanya berlandaskan dua hal... kasih sayangnya dan Alkitab yang diyakininya.

Sewaktu kecil aku, aku bukan "anak manis". Maksudku, aku bukan anak kecil yang bisa duduk dengan tenang, berjalan dengan tenang, makan dengan tenang sehingga bajuku selalu rapi dan bersih. Aku seperti bola bekel yang membal kesana-kesini. Aku mengotori seragam sekolahku dengan bermain perosotan di lumpur, membasahi sepatuku dan menentengnya pulang, mandi di sungai yang pada musim hujan arusnya bisa tiba-tiba menjadi deras. Ketika ibuku harus pergi ke ladang dan aku diminta untuk menjaga adik-adikku, aku sering meninggalkan mereka sendirian di rumah supaya aku bisa bermain dengan teman-temanku. Aku pernah "mencuri" celenganku sendiri, mencungkil lubangnya dengan ujung sendok, mengeluarkan isinya sampai ke uang logam terakhir. Dan masih banyak lagi kejahatan kecil yang aku lakukan.

Dan diantara anak-anak yang sering mendapatkan rotan seperti pada ceritaku di awal tadi, aku adalah salah satunya. Ibuku meneriakiku ketika aku pulang sekolah dengan baju belepotan lumpur, katanya baju itu masih akan kupakai untuk besok. Ketika aku pulang sekolah tanpa memakai sepatu, ibuku memukulku karena katanya bisa saja ada beling yang akan melukai kakiku. Ketika aku mandi-mandi di sungai pada musim hujan dan pulang saat hari sudah gelap, ibuku memukulku karena dia sangat khawatir, dia sudah mencariku ke-seantero desa, bertanya ke orang-orang tapi tak seorangpun yang tau aku dimana. Ketika aku membolos Sekolah Minggu karena mau nonton Power Rangers di rumah temanku, ibuku memukulku dan memarahiku habis-habisan, karena katanya dia takut aku menjadi pembohong dan menjadi "jahat" karena tidak ke gereja. Begitu juga ketika aku mengambil isi celenganku. Celengan itu diisi dengan sisa-sisa receh kalau Ibuku pulang belanja. Dia terkejut ketika membersihkan kamarku, celengannya jadi ringan tanpa isi. Kemudian ibuku memukulku dan meneriakiku, menyalahkan dirinya sendiri karena aku jadi "pencuri kecil". Dia berkata, lebih baik dia memukulku yang artinya dia memukul dirinya sendiri supaya aku berubah, dari pada dia melihatku tumbuh menjadi pencuri.

Ya,, ibuku memukulku...

Tapi setiap setelah dia memukulku, mendengarku menangis berurai air mata, dia akan meminta maaf karena sudah memukulku. Dia berkata betapa dia mengasihiku, betapa dia tidak mau aku menjadi pembohong dan pencuri. Itu yang dia katakan sambil memandikan aku yang masih terisak-isak. Kemudian dia memakaikan aku baju yang bersih, mengolesi merah-merah di kakiku dengan minyak gosok dan memelukku erat sambil menciumiku. Yang paling aku suka adalah bagian akhirnya.. ibuku memberiku uang jajan untuk membeli donat yang lewat setiap jam 5 sore. :)

Dengan tangannya Ibuku memukulku ketika aku menyimpang dari nilai-nilai yang dia ajarkan, dengan mulutnya ibuku mengomeliku, meneriakiku ketika aku membuatnya kecewa saat dia berpeluh pulang dari bekerja di sore hari. Tapi di malam hari.. tangan itu, mengusap kepalaku ketika aku tidur, tangan itu terlipat, terkait satu sama lain, dan dengan mulut itu ibuku bertelut mendoakanku. Mendoakan semua yang terbaik buatku.

Bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan tangan ibuku? Karena tangannyalah, aku bisa ada sebagaimana aku ada sekarang.

Terlepas dari apapun yang dilakukan orang tua dalam membesarkan anaknya, orang tua tetaplah manusia biasa. Yang bisa dan pasti melakukan kesalahan. Bagaimanapun besarnya kasih sayang orang tua, meskipun dia tidak pernah "menghukum" anaknya secara fisik, seumur hidupnya pasti pernah melukai hati anak-anaknya. Entah dari perkataan maupun perbuatan, disengaja ataupun tidak.

Yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana mengajarkan anak-anak untuk memaafkan. Memaafkan kesalahan orang tuanya, teman-temannya, maupun kesalahan kepada  diri sendiri. Karena memaafkan itu menyembuhkan. Pada saat seorang anak dipukul/dicubit, badannya memang merasakan sakit, tapi jangan abaikan juga rasa sakit yang ada di hatinya. Ketika hatinya disembuhkan dengan permintaan maaf, seorang anak bahkan tidak pernah peduli dengan merah-merah di kakinya. Trust me, itu ga kerasa kalo pas lagi lari-larian main layangan.

Anak-anak yang sering disebut sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga adalah mereka yang pernah "disakiti" tetapi tidak pernah memaafkan. Mengapa mereka tidak memaafkan? Karena mereka tidak pernah diajari cara memaafkan. Mungkin karena yang menyakiti juga tidak pernah meminta maaf. Tidak berusaha menyembuhkan luka di hati anak-anaknya.

Waah, panjang sekali tulisan ini..

Oke, aku akan mencari kata-kata penutup yang pas...

Ini dia, dari Amsal....

Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya” (Amsal 19:18).



Love,


Me :)


Ps: Terima kasih, Ibu, terima kasih untuk tanganmu yang memukulku ketika aku salah arah. Terimakasih untuk mulutmu yang memperingatkanku ketika aku menyimpang, dan terima kasih untuk tangan dan mulut itu yang tak berhenti mendoakanku,, bahkan ketika aku lupa untuk mendoakan diriku sendiri.







No comments:

Post a Comment

Yuk bagikan blog ini :